Sabtu, 07 Mei 2011

FILSAFAT

Apa Itu Filsafat

Melalui filsafat terjadi dentuman reformasi intelektual yang membawa manusia dari pemikiran mistis soal alam semesta menuju ke pemikiran rasional, sistematis, reflektif, kritis, analitis, tentang realitas dunia dan manusia. Filsafat membuka segala kemungkinan dan horizon baru, karena filsafat tidak terbatas oleh hal-hal yang empiris, sehingga filsafat disebut juga metafisika yaitu melampauhi yang fisik (tampak). Filsafat disebut juga mater scientiarum atau induk ilmu pengetahuan, karena dari filsafatlah lahir segala ilmu yang ada.

Secara etimologi kata filsafat berasal dari dua suku kata Yunani, philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan/wisdom). Jadi, philosophos adalah a lover of wisdom. Arti filsafat ini sering dikaitkan dengan ilmu teologi atau theophilia atau a lover of God. Kata “God” sering diidentikkan dengan “kebijaksanaan”. Akibatnya filsafat itu sering disamakan dengan teologi (filsafat melebur dalam teologi karena Allah dianggap sebagai sumber kebijaksanaan). Ada beberapa pertanyaan yang muncul seputar filsafat. Bagaimana kita mencintai kebijaksanaan? Socrates menjawab bahwa untuk mencintai kebijaksanaan, manusia harus mengenal dirinya sendiri. Dengan kata lain filsafat adalah buah atau hasil dari pengetahuan akan dirinya sendiri (gnothi sealfon). Apa arti pengetahuan akan diri (self to know) dan kapan orang mengenal diri? Sokrates menjawab bahwa seseorang mengenal dirinya kalau ia mengenal batas-batas dirinya sendiri (knowing the limit of the self). Ada tiga batas yang harus disadari oleh manusia.

Pertama, batas epistemologis yaitu batas pengetahuan. Manusia harus sadar dan dapat membedakan antara benar dan salah, tahu dan tidak tahu, agar manusia mampu mempertanggungjawabkan semua tindakan, perbuatan dan pemikirannya terhadap diri sendiri dan orang lain.

Kedua, batas etis yaitu batas tindakan, sikap dan perilaku. Manusia harus tahu mana tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang jahat dan yang baik.

Ketiga, batas eksistensial yaitu batas sikap atau hidup. Manusia harus sadar bahwa nasibnya tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri, sebab nasib manusia juga ditentukan oleh faktor-faktor misterius yang ada dalam dirinya yang tidak mampu dipahami olehnya.

Orang pertama yang memunculkan filsafat adalah para filsuf alam dari Yunani. Mereka adalah Thales dari Miletos, menurutnya alam semesta ini terdiri dari: air. Anaximenes, asal mula dan dasar alam semesta ini adalah apeiron (sesuatu yang tidak dapat dipahami atau dijelaskan/dirupakan). Menurut Anaximandros prinsip utama alam semesta ini terdiri dari air, api, tanah dan udara. Setelah muncul Socrates filsafat tidak lagi berbicara soal alam semesta, melainkan berbicara soal manusia. Socrates memulai babak baru di mana soal etika dan keutamaan menjadi pokok pemikirannya. Ia mulai mempertanyakan apa arti hidup manusia? Setelah itu muncullah Plato muridnya yang mulai membedakan antara doxsa dan episteme. Doxsa adalah pendapat pribadi yang belum teruji kebenarannya dan episteme adalah pengetahuan yang sudah diuji kebenarannya. Menurut Plato realitas di dunia ini hanyalah bayang-bayang, pantulan, fotokopian, maya, dari dunia yang sebenarnya. Dunia yang sesungguhnya adalah dunia “idea” yang tidak dapat berubah dan diubah. Dunia realitas ini sering kali berubah dan tidak menetap. Jadi esensinya adalah dunia “idea” dan bukan realitas. Aristoteles (384-322 sM) berbeda pendapat dengan gurunya Plato. Menurutnya dunia yang sesungguhnya adalah dunia realitas (esensi itu adalah realitas). Dunia realitas itu bisa dijelaskan dengan hukum causalitas dan abstraksi sementara dunia idea adalah dunia utopia yang tidak jelas keberadaannya apakah ada atau tidak. Sebab tidak bisa diverifikasi exitensinya. Menurut Aristoteles manusia adalah animal rasionale; animal simbolicum; homo faber (mahluk pekerja); homo ludens (mahluk yang suka bermain).

Filsafat disebut juga sebagai ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan atau salah satu khazanah pengetahuan. Mengapa filsafat penting? Karena dunia manusia sekarang ini semakin ditentukan oleh IPTEK. Hampir dalam segala hal, mulai dari pola pikir, cara hidup dan kebutuhannya. Dapat dikatakan bahwa teknologi itu sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Akibatnya muncul berbagai praktek pendewaan terhadap ilmu pengetahuan. Pada abad ke 18-19 muncul aliran Scienticum (Saintisme) yaitu ideologi yang berlebihan. Ideologi ini meyakini bahwa IPTEK adalah satu-satunya jalan kebenaran. Maka diluar yang sifatnya ilmiah, tidak benar dan harus dibasmi.

Rene Descartes menyamakan filsafat dengan pohon, yang memiliki akar, batang, dan rantingnya. Akar filsafat adalah ontologi atau metafisika (teori atau pandangan tentang kepastian realitas). Ilmu metafisika berusaha mewujudkan apakah realitas itu bersifat terbatas (finit) dan tidak terbatas (infinit) dalam ruang dan waktu. Apakah realitas itu imanen (dekat) atau transenden (jauh). Batangnya adalah epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan. Bagaimana manusia bisa mengumpulkan pengetahuan. Apakah manusia pernah tahu sesuatu atau tidak pernah tahu sesuatu atau seluruhnya. Bagaimana menjelaskan perbedaan epistemology dan doxsa. Apakah opini sama dengan pengetahuan? Dan apa itu kebenaran? Kapan kita sadar bahwa kita telah mencapai kebenaran dan mengapa kita jatuh dalam kesalahan, lalu apa bedanya kebenaran dan kesalahan?

Menurut Descartes filsafat adalah ilmu-ilmu praktis yang bermanfaat dan berguna untuk menyumbangkan kedamaian, dan kesejahteraan manusia. Ada empat cabang filsafat. Pertama, ilmu kedokteran, manfaatnya menjaga, memelihara, dan memulihkan kesehatan manusia. Kedua, ilmu Hukum manfaatnya berusaha mengatur, menertipkan interaksi manusia. Mengubah manusia dari lupus (serigala) menjadi socius (teman). Ketiga, ilmu mekanika (iptek) yaitu ilmu hukum alam yang memproduksi barang-barang dari alam. Descartes mengatakan bahwa manusia harus menjadi master of natur. Keempat, Ilmu teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan tujuan akhir hidup manusia. Manusia bukan hanya insan duniawi tapi juga insan rohani. Tujuan hidup manusia adalah mengatasi dunia ini agar mampu menuju kepada Allah dan memperoleh hidup surgawi. Itulah sebabnya filsafat disebut sebagai ibu; sumber dan akar dari segala ilmu pengetahuan yang ada. Filsafat merangkum dan mengintegrasikan semua pengetahuan manusia. Karena pada zaman Yunani hingga abad 19 filsuf adalah juga seorang ilmuwan.

Kapan manusia mulai berfilsafat?

Filsafat bermula dari sebuah pertanyaan. Ada beberapa hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat yaitu:

Pertama, ketakjuban. Ketika manusia takjub terhadap peristiwa-peristiwa alam, gaib dan segala sesuatu yang memungkinkan manusia untuk kagum. Bagi Plato pengamatan terhadap bintang-bintang, matahari, dan lagit merangsang manusia untuk melakukan penelitian. Padangan ini semakin diperjelas oleh Aristoteles. Menurutnya karena takjub manusia mulai berfilsafat. Sementara bagi Immanuel Kant ( abad 18) bukan hanya takjub terhadap alam ini, melainkan ia juga terpukau memandang hukum moral dalam hatinya, sebagaimana tertulis di batu nisan kuburannya : coelum stellatum supra me, lex moralis intra me (bintang di langit di atasku, tapi hukum moral ada di bawahku).

Kedua, ketidakpuasan. Manusia tidak puas akan jawaban dari mitos-mitos terhadap segala pertanyaanya. Maka manusia mulai mencari jawaban yang meyakinkan dirinya dan bersifat pasti. Akhirnya lambat laun manusia mulai berpikir secara rasional. Akibatnya akal budi mulai berperan. Maka lahirlah filsafat.

Ketiga, hasrat bertanya. Hasrat bertanya membuat manusia mempertanyakan segalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang diwujudkan itu tidak hanya sekedar terarah pada wujud sesuatu, melainkan juga terarah pada dasar dan hakikatnya. Inilah salah satu yang menjadi ciri khas filsafat. Mempertanyakan segala sesuatu dengan cara berpikir radikal, sampai ke akar-akarnya, tetapi juga bersifat universal.

Keempat, keraguan. Pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh kejelasan yang pasti pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan tentang adanya atau apriori (keraguan atau ketikdakpuasan dan kebingungan) di pihak manusia yang bertanya. Keraguan ini merangsang manusia untuk terus bertanya. Kemudian menggiring manusia untuk berfilsafat.

Mengapa berfilsafat?

Manusia berfilsafat karena manusia ingin tahu rahasia alam semesta dan segala peristiwa yang ada di dalamnya. Why is there something rather there nothing (mengapa ada sesuatu dan bukannya ketiadaan semata). Mengapa ada manusia; mengapa ada kematian; penderitaan; ketidakadilan; kejahatan? Kemudian pertanyaanya berlanjut “Apa penyebab adanya segala sesuatu? Apa penyebab penderitaan dan keberadaan manusia? Setelah itu manusia mulai bertanya “apa arti segala sesuatu?” apa arti perang, penderitaan, hidup manusia, kedamaian, kematian dsb. Dalam wilayah ini manusia tidak lagi bertanya mengenai “penyebab” tapi “mengapa ada kematian” Apa tujuan hidup? Apa makna di balik penderitaan? Apakah penderitaan itu memanusiakan manusia atau sebaliknya?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong manusia untuk berfilsafat. Kehausan manusia untuk mencari jawaban terhadap segala hal yang dipertanyakannya. Dalam berfilsafat manusia tidak terbatas terhadap hukum-hukum alam dan kitab suci manapun. Berbeda dengan ilmu-ilmu empiris yang membatasi dirinya pada bidangya masing-masing seturut hukum dan aturannya. Sementara filsafat selalu mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang memungkinkan penciptaan-penciptaan baru.

Bagaimana manusia berfilsafat?

Sebenarnya manusia berfilsafat dengan banyak cara. Tidak ada batas dan patokan untuk berfilsafat. Meskipun demikian ada beberapa hal yang sering menjadi ciri khas filsafat dalam mencari kebenarannya. Berpikir rasional dan masuk akal adalah langkah awal dalam berfilsafat. Kemudian menghasilkan permenungan yang mendalam terhadap segala yang dipikirkannya. Pemikiran tersebut dilengkapi dengan cara berpikir “holistik” yang sifatnya menyeluruh atau universal. Dalam arti, filsafat tidak berpikir dalam satu bidang dan ilmu tertentu, sebab jika demikian maka akan menimbulkan kecenderungan mendewakan yang satu dan menindas yang lain. Seperti yang terjadi di zaman berjayanya sains. Para kaum rasionalisme mengklaim bahwa realitas ini bekerja secara rasional, logis, objektif, karena itu rasio manusia mampu memahami segala hal. Konsekuensinya adalah segala hal yang gaib, misterius, ilahi atau irasional tidak ada, paling banter “belum diketahui”. Jadi keyakinan religius (agama) atau prinsip “credo quia impossible” (saya percaya karena tidak mungkin [percaya terhadap Allah yang tidak dapat dibuktikan secara rasional]) dianggap omong kosong. Filsafat mencoba mencegah cara-cara berpikir seperti ini yang menganggap bahwa yang benar hanyalah yang memiliki standar-standar yang jelas, dalam arti “clara et distincta” (jelas dan tegas). Cara berpikir seperti ini cenderung mereduksi arti kehidupan itu sendiri. Segala hal yang ada di dunia ini tidak dapat dipahami hanya secara rasional saja. Ada banyak hal yang tidak dapat dilihat secara rasional juga tapi nyata dan dapat dirasakan.

Maka muncullah tokoh-tokoh filsafat yang menentang dominasi sains. Misalnya F. Nietszche mengatakan bahwa sains adalah upaya keras untuk mendasarkan segala hal secara harafiah dan logis, tapi defakto sebenarnya tidak lebih dari metafor-metafor yang mati. Karena sains melihat persamaan dalam perbedaan. Sains justru memaksakan persamaan dalam hal-hal yang sungguh tidak sama. Maka baginya sains itu mandul. Lihatlah penyimpulan terhadap binatang mamalia, sebenarnya banyak hal yang tidak sama di antara binatang-binatang ini, ikan paus dengan kelinci, yang sama hanyalah sifatnya yang mamalia, tapi sesungguhnya binatang ini sangat berbeda.

Filsafat juga menggunakan metode “hermeneutik filosofis” yaitu berfilsafat dengan cara menafsir. Heidegger mengatakan bahwa hidup manusia adalah menafsir, sebab tidak ada di dunia ini yang tanpa tafsiran, bahkan manusia tidak dapat hidup tanpa menafsir. Setiap tafsir selalu mengandung pra-pemahaman; pra-sangka, dan istilah pra- inilah yang memungkinkan penafsiran. Sebuah objek dapat menimbulkan banyak penafsiran bagi setiap orang yang memandangnya. Oleh karena itu segala hal itu hanyalah tafsiran yang suatu saat akan disangkal oleh tafsiran yang lain. Contoh yang jelas akhir-akhir ini adalah planet Pluto yang dieliminasi dalam lingkungan tata surya. Maka sains bukanlah pengetahuan murni tanpa pra-sangka. Sains hanyalah salah satu bentuk cara berpikir. Sebenarnya banyak hal di dunia ini yang sifatnya “Lebenswelt” artinya kesatuan dasar berpikir manusia dan realitas itu, pada dasarnya inarticulate exhaustively, tidak bisa dirumuskan secara total.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah sebuah proses pencarian identitas mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta). Dan ini hanya dapat diperoleh lewat permenungan dan abstraksi. Di mana manusia ke luar dari kesempitan berpikir dan berani berpikir secara universal atau global. Segala hal dilihat dalam perspektif mendasar. Apa esensi dari segalanya dan untuk apa itu ada serta mengapa dia ada dan hubungannya dengan keberadaan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar